Kasus Ambalat dan Posisi Indonesia
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967
dilakukan pertemuan teknis pertama kali mengenai hukum laut antara Indonesia
dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan
diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan Ligitan).
Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental
Indonesia - Malaysia, kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November
1969, tak lama berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang
memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini
membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun
Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17
Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan
Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai
tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam
wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau
Sebatik. Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk
pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan
Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia
melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk
melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya
setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan
sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Bahwa Malaysia mengklaim Ambalat menggunakan peta
(laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur Prescott (2004), peta tersebut
memuat Batas Continental Shelf di mana klaim tersebut secara kesuluruhan
melewati median line. Deviasi maksimum pada dua sekor sekitar 5 mil laut.
Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut iniMalaysia telah mengabaikan beberapa
titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Di luar pandangan tersebut di
atas, perlu ditinjau secara detail bagaimana sesungguhnya sebuat peta laut bisa
diakui dan sah untuk dijadikan dasar dalam mengklaim suatu wilayah. Tentang hal
ini, Clive Schofield, mantan direktur International Boundary Research Unit
(IBRU) berpendapat bahwa “peta laut tertentu harus dilaporkan dan diserahkan ke
PBB, misalnya peta lautyang memuat jenis garis pangkal dan batas laut. Namun
begitu suatu Negara yang megeluarkan peta laut tentu saja tidak bisa memaksa
Negara lain kecuali memang disetujui.” Intinya, penggunaan peta laut tahun 1979
olehMalaysia harus didasarkan pada kaidah ilmiah dan hukum yang bisa diterima.
Jika peta laut ini hanya memenuhi kepentingan dan keyakijan sepihak saja tanpa
memperhatikan kedaulatan Negara tetangga, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan.
Sengketa batas wilayah dan pemilikan Ambalat
mendapat perhatian besar beberapa hari terakhir ini. Jika tidak segera
ditangani, hubungan bilateral Indonesia-Malaysia yang mengandung banyak aspek
(tidak sekadar berdimensi politik-keamanan) akan dapat memburuk. Malaysia
mengklaim Ambalat menggunakan peta (laut) yang diproduksi tahun 1979. Menutur
Prescott peta tersebut memuat batas Continental Shelf di mana klaim tersebut
secara kesuluruhan melewati median line. Deviasi maksimum pada dua sekor
sekitar 5 mil laut. Nampaknya dalam membuat klaim dasar laut ini Malaysia telah
mengabaikan beberapa titik garis pangkal Indonesia yang sudah sah. Untuk
menyelesaikan persoalan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali
rangkaian proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian
perbatasan di Pulau Kalimantan yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974
(menurut Departeman Luar Negeri). Diketahui secara luas bahwa Perbatasan
Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada, memang belum
terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah
kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya dimenangkan oleh
Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara eksplisit
berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun
1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah
tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu
acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di
Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur
kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat kebijakan, baik di
Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok masyarakat di kedua negara,
bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik untuk mengelola sengketa itu.
Opini
Menurut pendapat saya tentang kasus ambalat
Ada beberapa faktor yang menjadi sumber masalah
berkaitan dengan persoalan Ambalat:
Faktor psikologis. Keberhasilan Malaysia dalam
membangun negaranya, termasuk ekonominya, menimbulkan rasa percaya diri yang
berlebihan sampai dapat dikategorikan sikap arrogant. Akibatnya adalah
menyepelekan pihak lain yang dianggapnya kurang berhasil dan sedang menghadapi
banyak persoalan, seperti Indonesia. Hal ini dapat dilihat ketika Malaysia
tidak pernah membicarakan masalah ini secara serieus kepada Indonesia, padahal
dua-duanya anggota ASEAN. Juga pembuatan peta tentang wilayah perbatasan secara
unilateral adalah bukti arrogansi itu.
Faktor ekonomi. Perusahaan minyak Shell
berkepentingan mendapatkan konsesi di Ambalat yang dapat mempengaruhi
perusahaan Petronas bertindak sepihak. Ini juga kepentingan Malaysia untuk
peningkatan ekonominya.
Faktor militer. Malaysia mengira bahwa kekuatan
militernya, khususnya kekuatan angkatan laut dan angkatan udara, memadai untuk
mendukung memaksakan fait accompli seperti yang telah dilakukan dulu dengan
Sipadan dan Ligitan. Perkiraan ini timbul karena pengaruh faktor psikologi
(arrogansi) dalam menilai kemampuan militer Indonesia.
Faktor politik. Malaysia melihat bahwa Indonesia
sedang sibuk menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi dan keamanan dalam
negeri, sehingga dinilai tidak cukup kemampuan menghadapi masalah ini secara
sungguh-sungguh. Itu dapat dilihat pada sikap dan ucapan Menlu Malaysia bahwa
buat Malaysia tidak ada masalah negosiasi dan ia datang ke Jakarta hanya untuk
menyampaikan pendapat Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar